Kisah Ksatria Thariq bin Ziyad Saat Menaklukkan
Andalusia
VOA-ISLAM.COM
- Andalusia adalah negeri kaum
Muslimin yang pernah ditaklukan oleh panglima perang Thariq bin Ziyad. Thariq
berasal dari suku Barbar, Afrika yang kemudian memeluk Islam. Entah mungkin
untuk mendiskreditkan perjuangan Thariq bin Ziyad, kata-kata Barbar kemudian
jika disematkan kemudian berkonotasi negatif, yang berarti tidak beradab, kejam
atau kasar.
Negeri
Andalusia yang pernah dikuasai kaum Muslimin dan sempat mencapai kegemilangan
di bidang ilmu pengetahuan di bawah pemerintahan Islam kini telah dikuasai
Nasrani. Oleh sebab itu, Syaikh Abdullah Azzam -rahimahullah- menyinggungnya
dalam kitab “An-Nihayah wal Khulashah”:
“Bahkan
jihad itu telah menjadi fardlu 'ain bukan saja sejak Rusia memasuki
Afghanistan, akan tetapi jihad telah menjadi fardlu 'ain semenjak jatuhnya
Andalusia ke tangan orang-orang Nasrani, dan hukumnya belum berubah sampai hari
ini.
Dengan
demikian jihad telah menjadi fardlu 'ain sejak tahun (1492 M), tatkala
Ghornathoh (Granada) jatuh ke tangan orang-orang kafir --- ke tangan
orang-orang Nasrani --- sampai hari ini. Dan jihad akan tetap fardlu 'ain
sampai kita mengembalikan seluruh wilayah yang dahulu merupakan wilayah Islam,
ke tangan kaum muslimin.”
Semoga
kisah kegemilangan Thariq bin Ziyad yang dikutip dari kitab “Shuwarun min
Hayatil Fatihin” bukan sekedar nostalgia semata, namun bisa menginspirasi
dan memotivasi kaum Muslimin untuk berjihad meraih kembali kejayaan Islam.
Thariq bin Ziyad
Sang
Penakluk Andalusia
Thariq
dilahirkan pada tahun 50 H (670 M), di tengah suku keluarga Berber (Barbar,
red.) dari kabilah Nafazah, di Afrika Utara.
Thariq
berperawakan tinggi, berkening lebar, dan berkulit putih kemerahan. Dia masuk
Islam di tangan seorang komandan muslim bernama Musa bin Nusair, orang yang
dikagumi karena kegagahan, kebijaksanaan dan keberanianya.[1]
Jalan
Ke Andalusia
Misi
ekspansi pasukan Islam ke luar Jazirah Arab bermula di masa Khulafaur Rasyidin,
dengan tujuan menyebarluaskan Islam ke seluruh wilayah yang memungkinkan untuk
di jangkau pasukan Islam. Maka tercapailah penaklukan atas Syam (Syiria,
Palestina, dan sekitarnya), Irak dan Iran (Persia).
Pasukan
muslimin juga berangkat menaklukan Mesir di bawah pimpinan panglima ‘Amru
ibnul-‘Ash. Mesir saat itu berada di bawah kekuasaan penjajah Romawi
(Bizantium). Setelah masuk ke Mesir, mereka menuju ke arah Burqah, lalu
sampailah pasukan Islam ke Tripoli (sekarang ibu kota negara Libya-red.) untuk
mengepungnya dan mendudukinya.
Pada
masa kekhilafahan Usman bin Afaan, pasukan Islam mulai membuka ekspansi ke
kawasan Maghribi (Maroko dan sekitarnya), di bawah komandan Abdullah bin Sa’ad
bin Abi Sarh. Di dalam pasukan terdapat putra-putra sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alahi wa Sallam.[2]
Tekad
dan semangat mereka semakin kuat setelah berperang melawan pasukan Romawi yang
dipimpin Jurjir. Ekspansi itu berlanjut cepat hingga memasuki kota Carthago di
pantai Utara Afrika, sebelah utara kota Tunis sekarang. Pasukan Islam di
wilayah Ifriqiya ini di pimpin oleh komandan Uqbah bin Nafi’. Ia memiliki wawasan
yang luas tentang situasi daerah itu. Selanjutnya ia membangun kota Qairawan
(Kairaouan) di Tunisia, untuk mengukuhkan keberadaan Islam di bumi Afrika.
Selanjutnya
Uqbah bin Nafi’ dan pasukannya bergerak kearah barat dan selatan dan sampai ke
Tangier (Arab: Tanja), sekarang Maroko. Dalam perjalanan pulang ke Qairawan ia
dihadang gerombolan suku Berber. Uqbah bin Nafi’ terbunuh bersama tiga ratus
tentaranya. Ia dimakamkan di suatu tempat yang sekarang dinamai Sidi Uqbah
(Tahuda) di Aljazair sekarang.
Kaum
muslim menuntut balas atas kematian Uqbah, dan mereka berhasil membunuh
Kasilah, komandan perang Berber. Namun, tindakan balas-membalas itu tidak
berkepanjangan, sebab orang Berber sudah merasa puas dengan terbunuhnya Zuhair
bin Qais yang membunuh Kasilah. Zuhair gugur di Qadisiyyah (Irak).
Dan
pada akhirnya pasukan muslimin berhasil menaklukkan wilayah Ifriqiya di bawah
komando Hasan bin an-Nu’man al-Ghassani yang berhasil menceraiberaikan pasukan
Berber. Ia juga memorakporandakan pasukan Romawi, dan menang dalam perang
melawan pasukan Al-Kahin (Sang Dukun) sesudah menaklukkan Bazrat.
Setelah
itu datanglah Musa bin Nushair sebagai pemegang komando utama pasukan muslimin
di Afrika. Ia meraih berbagai kemenangan sampai jauh ke barat di tepi samudera,
dan kembali ke Qairawan sesudah terbina keamanan dan ketertiban.
Saat
itulah seorang komandan Berber bersama pasukannya masuk Islam. Ia sebelumnya
dikenal sebagai komandan penjaga di Tangier. Ia adalah Thariq bin Ziyad.
Jalan
ke daratan Spanyol terbuka luas setelah Julian, pangeran Spanyol di Ceuta
(Sabatah) meminta bantuan Musa bin Nusair untuk menyerang dan menjatuhkan Raja
Roderick dari bangsa Visigoth yang berkuasa di Spanyol dari ibu kotanya di
Toledo. Julian marah karena Raja Kristen Roderick memperkosa adik perempuannya
yang ia titipkan ke Raja untuk bisa memperoleh pendidikan tinggi. Thariq dan
Julian pun berkawan dekat.
Menaklukkan
Andalusia (Spanyol)
Musa
bin Nushair merasa perlu menguji Count (Pangeran) Julian dengan mengirim 500
tentara di bawah komando Tharif ke wilayah yang sampai kini dinamai Tarifa, di
ujung paling selatan Spanyol. Orang Arab menamakannya Jazira Tharif (Terifa).
Itu terjadi pada tahun91 H.[3] Tharif membawa misi utama
pengintaian kekuatan Kerajaan Bangsa Visigoth, serta penjajakan bagi sebuah
operasi militer besar.
Gubernur
Musa semakin yakin akan kejujuran Pangeran Julian, setelah Pangeran Ceuta itu
juga menyiapkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk menyerang Spanyol. Dan
setetlah mendapat izin dari Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik di Damaskus, Musa
pun memutuskan menyerang Spanyol. Apalagi saat itu Raja Roderick di Toledo
sedang menghadapi pemberontakan di bagian utara kerajaannya. Untuk melaksanakan
misi besarkannya itu, Musa memilih seorang Berber, Thariq bin Ziyad, sebagai
Komandan.
Panglima
perang Thariq bin Ziyad bersama 7000 tentara, yang mayoritas berasal dari suku
Berber, menyeberang ke Spanyol di tahun 711 M. ia mendarat dekat gunung batu
besar yang kelak dinamai dengan namanya, Jabal (gunung) Thariq, Orang Eropa
menyebutnya Gilbraltar.
Setelah
berhasil menyeberang ke daratan Spanyol, tiba-tiba Thariq mengambil langkah
yang hingga sampai kini membuat tercengang para ahli sejarah. Ia membakar
perahu-perahu yang digunakan untuk mengangut pasukannya itu. Lalu ia berdiri di
hadapan para tentaranya seraya berpidato dengan lantang berwibawa, dan tegas.
Dalam
pidatonya yang penuh semangat, panglima Thariq berkata;
“Di
mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian.
Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar.
Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan
mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang,
dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan
musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak
segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa
gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari
diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya
peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya.
Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian
akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah
kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada
nasibku…”
Selanjutnya
ia berteriak kencang: “Perang atau mati!” Pidato yang menggugah itu
merasuk ke dalam sanubari seluruh anggota pasukannya.
Dan
pada 19 Juli 711 M, pasukan Thariq yang saat itu berjumlah 12000 personil
setelah ada tambahan pasukan dari Ifriqiya, berhadapan dengan Raja Roderick dan
pasukannya di mulut sungai (Rio) Barbate. Peperangan di bulan Ramadhan itu
berlangsung sengit selama delapan hari. Pasukan Roderick pada awalnya sempat
unggul, namun kelemahan di sayap kiri dan kanan pasukan mereka berhasil
dimanfaatkan oleh pasukan Islam. Dan pasukan Roderick pun terdesak, hingga
akhirnya dipukul mundur. Pasukan Islam berhasil meraih kemenangan gemilang.
Roderick sendiri menghilang, dan di duga ia tenggelam di Sungai Barbate. Kuda
dan sepatunya ditemukan di tepi sungai.
Gubernur
Musa bin Nusair lalu mengirim surat kepada Khalifah Al-Walid, melukiskan
jalannya peperangan Rio Barbate. “Penaklukan ini berbeda dari
penklukan-penaklukan lain. Peristiwa seperti kiamat,” tulisnya.
Kemenangan
telak dalam pertempuran di Sungai Barbate itu membentang jalan bagi masuknya
Thariq bin Ziyad menuju kota Sevilla yang dijaga oleh benteng-benteng kuat.
Tapi sebelum merebut Sevilla, Thariq lebih dulu menaklukkan daerah-daerah lain
yang lebih lemah. Sebagian ditaklukkan dengan cara damai, tapi sebagian
terpaksa dengan kekerasan karena warga setempat melawan. Mereka bersikap ramah
terhadap penduduk yang tidak melawan.
Pasukan
Thariq yang sudah lebih besar karena ada tambahan pasukan baru, kini mengarah
ke Toledo, ibukota Visigoth (Gotik Barat). Di jalan ke Toledo itu mereka
menyapu kota Ecija dimana sempat terjadi perdamaian dan menerima kekuasaan
Muslim atas wilayah itu.
Dengan
cepat Thariq berusaha menaklukkan sebagian besar tanah Spanyol, yang oleh orang
Arab dinamakan Al-Andalus (Andalusia) itu. Ia lalu membagi-bagi pasukannya ke
dalam beberapa kelompok. Satu pasukan berhasil merebut Arkidona tanpa
perlawanan, dan pasukan lainnya juga dengan mudah merebut kota Elvira dekat
Granada. Ia lalu menaklukkan Cordoba dan sebagian wilayah Malaga. Kemudian
diteruskan dengan mengepung Granada yang berhasil ditaklukkan dengan jalan
kekerasan.
Thariq
lalu menuju ibukota Toledo. Di dalam perjalanan dia menyerang kota Murcia dan
menghancurkan kerajaannya sampai lumat. Ketika pasukan Islam di Toledo ternyata
para pemimpin Gotik telah meninggalkan wilayah itu. Thariq memasukinya dengan
mudah. Ketika itu pasukannya didukung pula oleh ksatria-ksatria Kristen lokal
yang tak suka kekuasaan Bangsa Gotik Barat di negaranya.
Thariq
terus mengejar para pejabat Gotik ke gunung, hingga mendapatkan harta rampasan
yang sangat banyak. Harta dan para tawanan dibawa ke Toledo. Di sana para
tawanan dipekerjakan untuk membangun kembali kota itu, antara lain dengan
membangun 365 tiang terbuat dari batu Zabarjud.
Musa
bin Nusair lalu mengirim surat kepada Thariq bin Ziyad, dan memerintahkannya
untuk menghentikan gerakan, dan tetap berada di tempat surat itu tiba. Tapi,
Thariq malah mengumpulkan para pejabatnya, merundingkan strategi perang.
Semuanya berpendapat melaksanakan perintah Musa akan mempersulit strategi
perang mereka. Sebab, sudah terbuka untuk merekrut pasukan asal Toledo dan
meraih momentum untuk menyerang lawan yang belum menyadari situasi.
Karena
itu Thariq melanjutkan penaklukan seraya merekrut milisi dari warga Toledo yang
sudah kalah. Thariq mengabarkan keputusannya ini kepada Musa bin Nushair
disertai alasan-lasannya.
Ketika
pesan Thariq sampai, Musa langsung berangkat ke Spanyol pada bulan Juni
712 M dengan membawa 18.000 tentara, kebanyakan orang Arab. Dan seperti yang
pernah disepakati dengan Thariq, pasukan Musa bin Nushair segera menuju
Sevilla, kota terkuat Spanyol saat itu. Sebelum ke Sevilla pasukan Musa
menaklukkan Medina Sidon dan Carmona. Musa mengepung ketat kota Sevilla dan
akhirnya berhasil menghancurkan kota pusat kebudayaan Spanyol itu. Namun
kota itu ditinggalkan Musa dalam keadaan kobaran api dan ia melanjutkan
perjalanan ke arah Toledo.
Warga
Sevilla tetap tak rela terhadap pendudukan oleh pasukan Muslim di sana. Setelah
panglima Musa bin Nushair meninggalkan kota itu, milisi Sevilla kembali beraksi
mengobarkan pemberontakan. Mereka dapat membunuh tentara Muslim. Mendengar
berita itu, Musa segera mengirim anaknya Abdul Aziz, untuk kembali ke Sevilla.
Ia sendiri terus menuju Toledo.
Mendengar
kabar akan datangnya panglima utamanya, Musa bin Nushair, Thariq segera keluar
ke perbatasan Toledo untuk menyambut Musa. Namun Musa sangat marah kepadanya.
Thariq dianggap telah mengabaikan perintahnya untuk menghentikan sementara
penaklukkan sampai ia datang ke Spanyol. Begitu marahnya Musa sampai ia
memasukkan jendralnya itu ke dalam penjara layaknya seorang penjahat.
Di
depan sidang dewan pertahanan, Musa menyatakan memecat Thariq bin Ziyad, dengan
tujuan memperbaiki segala sesuatu yang telah dilakukan Thariq. Sekalipun Thariq
berupaya menjelaskan bahwa keputusannya itu dilakukan demi kemaslahatan kaum
Muslimin dan sudah dimusyawarahkan dengan para penasehat, Musa tetap teguh pada
pendiriannya. Ia mengganti Thariq dengan Mughits bin Al-Harits, tapi Mughits
menolaknya. Ia segan menjadi komandan di atas Thariq sang pemeberani.
Mughits
bahkan bertekad membela Thariq bin Ziyad. Diam-diam dia mengirim kabar kepada
Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik tentang situasi yang berkembang.
Al-Walid sangat marah mendengarnya. Ia lalu menyurati Musa dan
memerintahkan agar kedudukan Thariq dipulihkan sebagai komandan pasukan. Dan
Musa menaati perintah pemimpinnya di Damaskus itu.
Kemudian
kedua panglima itu bergerak terus ke utara, hingga berhasil menaklukkan
Castilla, Aragon dan Catalonia (Barcelona). Keduanya bahkan sampai ke
pegunungan Pyrennes yang menjadi batas antara Spanyon dan Perancis. Sekiranya
tidak ada perintah dari Damaskus untuk menghentikan penaklukan, niscaya gerakan
mereka berdua tak tertahankan untuk menguasai seluruh benua Eropa.
Perjalanan
hidup panglima Thariq bin Ziyad, sang penakluk Spanyol yang agung telah menjadi
bagian dari sejarah patriotisme Islam melalui penaklukan Andalusia.
[Widad/Miftahul Jannah]
- See more at:
http://www.voa-islam.com/read/mujahid/2012/09/28/20898/kisah-ksatria-thariq-bin-ziyad-saat-menaklukkan-andalusia/#sthash.m4wWu2K7.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar